MODE EKOLOGI (ECO-FASHION) – 2008

Published in Bandung Advertiser 17-25 Maret 2008, Text: Muhammad Reza, Photos: After Midnite Bag by Vilia Ciputra, Joanne Kitten (VOGAMODA), Dok. Rudy Liem, Rebecca Ing, Muara Bagdja.

Saya pernah memuji motif floral super meriah pada rok longgar bergaya hippie yang dikenakan tetangga. Ia tertawa dan menjawab, “Kan lagi tren eco-fashion, bow…” Menurutnya, eco-fashion itu sekedar mode yang bertema dedaunan dan bunga yang ‘menghijaukan’ mata. Padahal tidak seperti itu. Eco-fashion atau mode ekologi secara umum berhubungan dengan usaha melindungi kelestarian alam, tak hanya melalui pakaian kita.

joannekitten vogamoda
Joanne Kitten (Vogamoda)

Apa dan Mengapa Mode Ekologi?

Rebecca Ing, disainer yang beberapa waktu lalu dengan romantis memadukan sutra dengan tenun Pekalongan, berkomentar mengenai eco-fashion. “Eco-fashion menggunakan bahan ramah lingkungan seperti serat alami atau bahan yang dapat di-recycle dan melalui proses produksi yang dapat dipertanggungjawabkan seperti kondisi kerja yang baik.” Dalam eco-fashion, Rebecca Ing menegaskan kalau model pakaian tersebut tetap gaya.

Pengamat mode nasional Muara Bagdja, memadankan istilah eco-fashion dengan mode ekologi. “Menurut saya, isu terbaru mode ekologi bukan sekedar memakai bahan pakaian alami atau sekedar simbolisasi dengan memakai warna hijau. Isu terbaru mode ekologi di dunia adalah produk mode itu memakai bahan pakaian dari serat organik. Pembibitan pohonnya tidak melalui proses rekayasa genetika atau penggunaan bahan kimia seperti pestisida maupun fungisida. Dan juga, produk mode itu peduli lingkungan sosial; upah layak, tenaga kerja tidak di bawah umur, dan kondisi kerja yang nyaman.” Demikian komentar pria yang tak hanya terkenal melalui kontribusinya di halaman mode majalah terkemuka seperti a+, dewi, atau Cosmopolitan, namun juga mengkoordinir berbagai fashion event dari peragaan busana Oscar Lawalata hingga Mercedez-Benz Asia Fashion Award.

Tahukah Anda bila sehelai pakaian yang dikenakan hari ini mungkin menyukseskan semakin hancurnya ekosistem alam? Lihatlah kapas sebagai contoh. Jangan dikira kapas itu tumbuh alami dengan warna putih bersih. Dari semua kapas yang ditanam, hanya sedikit yang berwarna krem bersih, sisanya mungkin cacat atau kotor. Karena itulah, untuk mendapat warna yang baik dan mempercepat pertumbuhan, industri kapas banyak mencampur pestisida  yang tak hanya merusak kesuburan tanah, namun meracuni para pemetik kapas dan lingkungannya perlahan-lahan. Belum lagi dalam mendapatkan warna yang sesuai, kapas itu dicelup dengan bahan kimia yang beracun.

Kehadiran bahan pakaian sintetis seperti polyester dan nylon pun unjuk gigi sebagai aktor perusak alam. Disainer tas After Midnite, Vilia Ciputra, memaparkan keperkasaan nylon yang dalam proses produksinya melibatkan nitrooksida. Nitrooksida sendiri adalah gas berkekuatan 310 kali lebih kuat daripada karbondioksida dalam menyebabkan pemanasan global.

Mode Ekologi di Indonesia

Kalau di pentas mode dunia, sudah banyak nama dan label yang menerapkan mode ekologi. Levi’s misalnya. Ia baru melansir Levi’s Eco, yakni produk 100% kapas organik. Stella McCartney lain lagi. Ia memperkenalkan produk kosmetik berupa krim pelembab organik yang dinamai Care by Stella McCartney. Sementara disainer Katharine Hamnett membuat tas jinjing yang terbuat dari 100% katun organik dan dicetak dengan tinta berbahan dasar air. Ada pula Giorgio Armani yang menggunakan bambu dan rami.

Bagaimana dengan mode ekologi di Indonesia? Muara Bagdja menganggap mode ekologi belum terlalu diperhatikan walau ada beberapa nama yang mulai kembali memakai bahan serat alam seperti sutra. Tuti Cholid (disainer asal Bandung) dan beberapa perajin batik di Yogya, misalnya.

“Di Bandung sendiri, mode ekologi sudah mulai dilakukan namun belum booming dan membudaya,” ujar Rebecca Ing yang menanggapi mode ekologi secara positif. Mode ekologi juga diterapkan disainer Rudy Liem. Lihat saja gaun rancangannya dari sutra alami warna-warni dengan lipit, atau penggunaan detil bermacam payet alami termasuk bambu pada gaun tulle yang ringan melayang.

Sementara di Jakarta, kalangan muda pun sudah memperhatikan mode ekologi. Lihat saja beberapa koleksi tas tangan After Midnite. Label tas tangan wanita terkini yang ikut meramaikan Bali Fashion Week 2007 kemarin. Vilia Ciputra, disainernya, selalu mengusahakan agar proses pengeringan dan pewarnaan tas berbahan natural ini berdampak kecil terhadap lingkungan. Ia sendiri mengagumi batik ‘daur ulang’ rancangan Ramadani A dari Yogyakarta yang memaknai mode ekologi.

Mode Ekologi Sebagai Solusi Pemanasan Global

“Mode ekologi dapat dianggap sebagai reaksi dari pemanasan global dan bencana alam,” tutur Vilia Ciputra. Ia menambahkan bahwa industri fashion bertanggung jawab dan berusaha melakukan perubahan dengan meningkatkan kesadaran akan lingkungan dengan menerapkan mode ekologi sebagai salah satu solusi.

Muara Bagdja sendiri mengutarakan cara sederhana namun sangat efektif dalam memelihara lingkungan. Contohnya, memakai baju tipis dan tidak berlapis-lapis di musim panas, serta memakai baju tebal di musim dingin untuk mengurangi penghamburan energi melalui pemakaian AC dan pemanas ruangan. Dalam kolomnya di harian Seputar Indonesia, Muara Bagdja pun menganjurkan kita untuk belanja dengan cerdas. Caranya? Bawalah kantung belanja sendiri. Ini akan mengurangi penebangan jutaan pohon untuk produksi kantung kertas dan mencegah semakin rusaknya ekosistem tanah melalui pembuangan kantung-kantung plastik yang tak bisa diuraikan tanah ratusan tahun.

Ada beberapa cara bernafas mode ekologi lainnya yang berkaitan dengan pakaian, yakni perawatan pakaian. Kalau deterjen sudah jadi tokoh utama polusi sungai (sebagaimana kita tahu tapi sepertinya tak terlalu peduli), mari kembali ke cara tradisional dalam membersihkan pakaian seperti yang diungkap situs Natural Health Care. Cucilah pakaian dengan air panas. Lalu bersihkan noda dan keringat dengan jus lemon, borax, atau hydrogen peroxide. Minyak teh hijau juga bisa digunakan (tapi jangan dengan air panas) sebagai antiseptik, antibakteri, antijamur dan antikuman. Karena Anda adalah bagian masyarakat urban yang dalam sehari-harinya hanya berkeringat dan tak berkecimpung dalam lumpur atau berkeliaran di hutan, tentunya noda-noda di pakaian dapat mudah dibersihkan dengan pembersih alami ini. Lalu cara alami menjaga putihnya kain adalah dengan menjemurnya di bawah sinar matahari setidaknya selama lima jam.

Muara Bagdja, dalam tulisannya yang berjudul Eco-Fashionista di majalah dewi, mengungkapkan bahwa mereka yang mengenakan atau menerapkan mode ekologi akan memiliki status lebih. Tak hanya sekedar fashionable, produk yang dikenakan pun bermakna lebih tinggi. Dan menurut saya, bila pakaian bisa bercerita tentang kepribadian, ia tentunya akan mengungkapkan sejauh mana kepedulian Anda terhadap lingkungan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Muara Bagdja, Rebecca Ing, Vilia Ciputra dan Bandung Advertiser.

Untuk saran dan pertanyaan, silakan email : muhammadreza_ss@yahoo.com atau whatsapp +6287877177869