MODE ITU SENI. SENI ITU MODE? (2009)

Text By: Muhammad Reza

(Dimuat di Majalah CLARA Edisi September 2009 hal.58-61)

Berbicara tentang mode memang tak bisa lepas dari seni. Bagi saya, mode selalu mengandung unsur seni. Pada dasarnya, seni memikat dan memberi pengalaman batin yang menyenangkan melalui indra penglihat.

pollock

Perasaan itulah yang saya rasakan saat melihat Caroline Trentini menyeret-nyeret rok tulle tersembur cat warna-warni ala lukisan Jackson Pollock di panggung peragaan Dolce & Gabbana beberapa tahun silam. Sama halnya saat melihat caged-heel boots Yves Saint Laurent atau tas kulit phyton bermotif floral dari Balenciaga (koleksi Cherce-Midi) yang dicat tangan warna-warni bergaya impresionisme. Apalagi kalau melihat peragaan busana Alexander McQueen. Ada kata “Oh” dan “Ah” ketika melihat produk mode menjadi suatu work of art.

cropped-scan00761.jpg

Apakah Mode itu Seni?

Aktris Tilda Swinton saja pernah mengatakan, “Beberapa seniman terbaik yang saya kenal bekerja di dunia mode.” Nah, lho?

Kalau beberapa contoh tadi disejajarkan, pertanyaan klasik akan muncul? Apakah mode itu seni? Kalau dijawab ya, maka akan berlanjut, tapi seni kan belum tentu mode? Oke, tak usah diperpanjang. Keduanya saling mempengaruhi. Seni bisa menjadi inspirasi warna, motif hingga siluet sehelai busana atau aksesori. Seni pun dipengaruhi mode. Kalau seni hanya bisa kita nikmati dengan mata, mode bisa dikenakan. Kedua-duanya memenuhi kebutuhan estetika manusia.

fildes
Sir Samuel Luke Fildes; Portrait of Mrs. Lockett Agnew, 1887-88. Source: Pinterest.com

Menurut saya, mode berpengaruh pada seni, tapi tidak sebesar seni terhadap mode. Kalau melihat lukisan era Victoria, saya akan mengernyitkan dahi jika model lukisan mengenakan gaun berkerah rendah dengan latar belakang taman di siang bolong. Tentu saja lukisan itu ngawur. Etikanya, di zaman itu busana berkerah rendah hanya dipakai di malam hari. Itu contoh sederhana. Mau tidak mau, mode mempunyai pengaruh pada seni.

Monet
Women in the Garden, 1866 by Claude Monet. Source: Fashion-era.com

Minimalisme, Kubisme dan Art Nouveau

Sejak awal abad 20, seni selalu menjadi inspirasi disainer. Minat dan hubungan mereka dengan seniman berimbas pada karyanya. Tengoklah Paul Poiret. Inspirasi seninya datang dari lingkungan. Poiret terkesan oleh kostum Ballet Russes di Paris pada tahun 1909. Ia mengoleksi lukisan Picasso, Matisse, dan Renault. Ia juga bergaul dengan seniman-seniman kontemporer ini. “Saya selalu menyukai pelukis. Sepertinya, kami berada di dunia yang sama,” katanya.

Paul Poiret
Paul Poiret dress, illustrated by Georges Barbier for the cover of Les Modes magazine in April 1912.

Saat itu modern art sedang naik daun di Prancis. Ketika seniman bereksperimen dengan ide-ide dan material baru, Poiret tertantang untuk bereksperimen dengan tekstil, siluet, dan detil busana. Ia mengikuti tren minimalisme, kubisme, dan art nouveau. Poiret membuang korset dari tubuh wanita dan meninggalkan warna hitam dan putih. Sudah kuno. Ia juga membuat siluet busana wanita menjadi lurus. Tak berlekuk-lekuk seperti huruf “S” yang dijadikan siluet ideal masa itu. Lalu ia ramaikan siluet lurus ide dengan warna-warna cerah.

Di era ’20-an, bukan Poiret saja yang terinspirasi seni. Jean Patou menjadi yang pertama memunculkan motif-motif kubisme pada rancangannya. Sementara itu di Italia, Elsa Schiaparelli tertular semangat surealisme dari pelukis Salvador Dali. Detil-detil surealis yang bersifat mengagetkan, melampaui batas kewajaran persepsi manusia dan tak proporsional diadopsi ke dunia mode. Ornamen dari bahan plastik dan kancing berbentuk bibir dijadikannya terobosan baru. Tak itu saja, Schiaparelli juga mempopulerkan gambar wajah manusia besar-besar yang menutupi torso pemakainya.

jean patou models
Jean Patou and his models, 1924. Source: CMadeleinesVintage.com
schiaparelli
Schiaparelli dress red lips detail and surreal red lips hat. Source: Pinterest.com
shoehat
A collaboration with Salvador Dali, the iconic Schiaparelli’s shoe hat in 1937. Source: krvs.org

Tak disangka, empat puluh tahun kemudian Yves Saint Laurent terinspirasi gaya surealis berupa wajah manusia yang tampil pada koleksinya di tahun ’60-an. Ia juga menginterpretasikan kubisme Picasso, bunga matahari Rembrandt dan burung camar Brague ke dalam motif sulaman.

ysl picasso
Yvest Saint Laurent, inspired by Picasso. Source: Rebelliveblog.com

Pucci = Op Art?

Saya masih ingat kegemaran mengenakan celana jins berwarna neon gara-gara film Factory Girl beberapa tahun silam. Tren yang sama sebenarnya muncul sejak tahun 1960-an. Inspirasinya? Op art dan psychedelia. Inilah aliran seni yang membuat mata saya cukup lelah dan butuh obat tetes. Motif geometris yang dibumbui warna-warna terang benderang dan kontras ini terlalu meriah untuk penglihatan orang yang beranjak tua seperti saya. Tak heran gaya ini kurang lama bertahan setiap diluncurkan. Namun, seni yang popular bersama Andy Warhol dan Edgy Sedgwick ini malah semakin merajalela melalui koleksi Emilio Pucci dan Paco Rabanne. Bahkan, masih banyak yang menganggap Pucci-lah yang melahirkan motif op art. Apa iya?

Saat narkoba dan reggae sedang tren di tahun 1970-an, seni dan mode ikut-ikutan. Tapi bukan ikut teler, lho. Mungkin karena senimannya teler, warna dan bentuk yang diwujudkan aliran seni ini kabur, tidak jelas, mengawang-awang. Eh, dunia mode malah mencetak motif fluorescent baik pada kaus maupun gaun. Saya pun sempat terkena demam fluorescent di tahun 1990-an ketika musik reggae muncul malu-malu untuk kemudian hilang lagi dari peradaban. Mungkin sedang teler lagi.

Seperti tren, seni selalu berputar. Seni graffiti yang dipopulerkan anak jalanan di tahun 1980-an menjadi hits gara-gara Louis Vuitton di tahun 2001. Berkolaborasi dengan seniman Stephen Sprouse dan Takashi Murakami, Marc Jacobs meluncurkan tas Monogram Graffiti dan Monogram Multicolor. Tak bosan-bosan, Marc Jacobs lagi-lagi undang pelukis. Terakhir, lukisan perawat rumah sakit karya Richard Prince memikat Jacobs. Sang pelukisnya langsung diminta merancang tas untuk koleksi musim panas 2008.

Disainer “Nyeni” Kurang Komersil

Saya kemudian penasaran. Selama ini para disainer terinspirasi karya-karya seniman. Apa jadinya jika lulusan sekolah seni saja yang menjadi perancang busana? Mungkin mereka bisa lebih keren saat menciptakan busana yang kental dengan nuansa seni. Ternyata tak semudah yang diharapkan. Tak semua seniman tertarik jadi disainer. Kalaupun ada, karyanya kurang komersil, seperti Viktor & Rolf atau Rei Kawakubo.

Saya sendiri sangat menikmati –baca: mengapresiasi- gaun-gaun rancangan Rei Kawakubo. Namun kalau saya wanita, saya belum tentu tahu kapan saya harus memakai gaun tersebut. Menganut surealisme dalam merancang, hasil pekerjaan Rei Kawakubo memang sudah melampaui persepsi normal manusia akan proporsi dan anatomi. Ia merombak struktur tubuh manusia dan dimodifikasi ulang melalui ilusi bagian-bagian tubuh seperti punggung, lengan atau dada. Inspirasi itu terlihat jelas pada koleksi musim panas 1997. Ia membuat gaun dengan anatomi seolah-olah punggung manusia menggelembung melebihi ukuran kepala! Ia juga mencampur warna-warna yang bertolak belakang tapi sukses mendamaikan keduanya dengan menyelipkan warna hitam.

Menyikapi tanggapan masyarakat yang kurang antusias, Rei Kawakubo sendiri lebih memilih karya-karyanya diulas dan ditampilkan melalui dunia seni, bukan mode. “Dunia seni menerima objektivitas. Dan itulah yang harus dilihat dari busana saya,” katanya.

kawakubo

Saya pikir, Viktor & Rolf –lah yang bisa menjadi pelarian aman bagi para fashionista untuk bermain-main dengan seni yang ekstrim. Duo asal Belanda ini mungkin sudah lelah karyanya diacuhkan pada dekade silam karena dianggap terlalu mengada-ada. Apalagi, busana mereka lebih terlihat seperti instalasi seni. Namun, peragaan busana debut para lulusan Academy of Arts di Arnhem Belanda ini lumayan berdaya pakai. Mereka merancang sebuah kemeja yang dipenuhi balon gas besar menyerupai awan jamur. Efek dramatis dikurangi. Misalnya, kemeja dan rok klasik yang dikejutkan dengan kalung pita merah besar di leher.

Dibandingkan karyanya, peragaan duo disainer yang selalu berdandan identik ini lebih menarik. Mereka mengadakan pameran busana dengan motif dan ukuran yang dibuat seukuran boneka anak-anak. Atau membiarkan para modelnya berjalan di catwalk dengan penerangan yang dilekatkan ke badan sehingga sang model jalan dengan wajah serius –mungkin karena sambil berdoa agar lampu tidak membakar busana yang sedang diperagakan. Ketika majalah New York Times menyebut Viktor & Rolf sebagai seniman yang menggunakan mode sebagai media-nya, saya maklum saja. “Lha mengapa baru sekarang, bukannya dari awal!”

Visual Art dan Mode

Biasanya, saya lebih suka mengamati ulasan peragaan busana melalui media cetak saja. Tapi untuk Alexander McQueen dan Hussein Chalayan, tidak. Kedua rumah mode ini menyajikan peragaan busana sebagai seni pertunjukan. Meskipun dituding sebagai disainer pencari sensasi, karya-karya Alexander McQueen ini berbanding lurus dengan seni peragaan busananya. Selalu mengundang decak kagum. Salah satu peragaan Alexander McQueen yang terus dikenang terjadi di tahun 2006. Seni yang ditampilkan berupa visual art. Saat menutup koleksi musim dinginnya, ia menampilkan hologram tiga dimensi berupa Kate Moss yang menari-nari dengan gaun putih di dalam sebuah piramida kaca.

mcqueen

Peragaan mode Hussein Chalayan juga selalu saya tunggu. Saya sempat bingung. Busana-busana karya disainer asal Turki ini lebih cocok dikategorikan produk mode atau furnitur ya? Bagaimana tidak, ia pernah menggunakan material badan pesawat terbang menjadi baju yang bisa diubah-ubah bentuknya dengan remote control. Yang paling menghebohkan adalah koleksi Afterwords (musim dingin 2000). Disini Hussein Chalayan menyulap seperangkat meja kayu dan bangku menjadi gaun! “Kegilaan”-nya juga dilengkapi dengan aksi menghancurkan sebuah busana keramik dengan sekali getokan palu. Dan adegan seorang model berbusana putih polos yang diciprati bermacam cat untuk menciptakan satu gaun bermotif abstrak?

hussein paint abstract

Seni itu mode?

Saya akan sangat setuju kalau mode bisa dikatakan seni, tapi tidak sebaliknya. Ini kembali lagi ke definisi seni, yakni suatu karya yang menarik bagi indera dan emosi. Saya pikir, fungsi dan seni adalah dua hal yang wajib dipertimbangkan saat berbelanja produk mode. Kalau suatu produk mode tidak menarik dan menyenangkan hati, untuk apa dibeli? Apalagi di jaman susah seperti sekarang. Kita bisa memanfaatkan mode untuk menjadi penghibur. Hidup ini masih ada indah-indahnya. Entah sedikit keindahan itu bisa melalui kesenangan kaki dalam sculptural shoes Alexander McQueen, atau sekedar mengangin-anginkan scarf Pucci di leher.

pucci giselle 2

Seni dan mode bagaimanapun juga memang saling berkaitan. Namun, siapa yang lebih berpengaruh, pemenangnya adalah seni. Walapun dipajang dekat ranjang anda, misalnya. Seni adalah dunia keindahan yang tak tersentuh dan tak terbatas. Itulah dunia yang ingin kita rasakan, yang kita coba dekati lagi dengan melekatkannya di tubuh kita. Apakah melalui sepatu berkonstruksi aneh tapi kokoh seperti pahatan art deco, atau melalui balutan sutra bergambarkan bunga lili yang lembut seperti lukisan Monet.

By Muhammad Reza (087877177869, muhammadreza_ss@yahoo.com)

cover clara

Untuk saran dan pertanyaan, penulis dapat dihubungi melalui email : muhammadreza_ss@yahoo.com dan telepon/whatsapp di +6287877177869.